­

Jakarta

2:22 PM

Hujan masi turun begitu deras saat aku melirik ke arah luar jendela kelasku. Sesekali sosok bayangan kecil tertangkap oleh mataku. Berlari-lari kecil sambil bersorak nyaring. Sesaat aku tersenyum, entah karena pilu atau iri dengan kebahagiaan kecil yang dimilikinya.

***

Raut wajah bahagia tampak begitu jelas terpancar dari anak-anak Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama yang hari itu melakukan tamasya ke Jakarta. Bagi mereka, rasanya ada sebuah kebanggaan saat mereka dapat menginjakkan kakinya di ibukota negaranya sendiri, Jakarta.

“Ternyata Jakarta nggak seperti yang orang-orang bilang. Katanya kan Jakarta itu panas, macet, banyak debu. Di sini banyak sekali gedung-gedung tinggi yang bagus,” ujar salah satu orang anak dengan riang.

“Saya senang sekali bisa pergi ke Jakarta bersama dengan teman-teman, rasanya seperti sebuah mimpi,”tutur anak yang lainnya.
***
Jakarta, ya? Buat orang yang lahir dan besar di Jakarta sepertiku ini, mungkin gedung tinggi atau pemandangan malam yang begitu memikat karena nyala lampu bukanlah sesuatu yang aneh. Penggalan singkat di atas yang tak sengaja kulihat dari buku teks bahasa itu sejenak membuatku tertegun. Orang bilang Jakarta memiliki daya tarik tersendiri, yang dapat membuat banyak orang datang berbondong-bondong kemari. Aku mendesah nafas panjang sambil terus menerus bertanya, daya tarik apa? Mengadu nasib? Kurasa sudah menjadi rahasia umum, bahwa mengadu nasib di Jakarta sama seperti mempertaruhkan kesempatan sekali seumur hidup. Kalau mujur ya berhasil, kalau tidak … mungkin terlunta-lunta di pinggir jalan, di kolong jembatan, atau di emperan toko.
***
“Aku pulang!”

Aku menoleh ke belakang. Rupanya kakak sulungku sudah pulang kerja. Ia langsung duduk di sebelahku sambil melepas sepatu dan menghempaskan tubuhnya di atas sofa.

“Tumben kok sudah pulang?”tanyaku sambil mengganti chanel televisi.

“Iya, tadi ada meeting dengan klien di luar, karena hujan, jadi Mas Reza bilang Mbak nggak usah balik lagi ke kantor.”

Aku hanya mengangguk mengiyakannya.Mas Reza itu pacarnya kakakku. Yah, sekaligus atasan kakakku tersayang ini.

“Sudah makan belum?”tanyanya lagi.

“Sudah tuh. Bi Darmi hari ini kan masak makanan kesukaan kita. Opor ayam sama kering tempe. Mbak makan dulu saja.”

“Nggak usah deh.Tadi Mbak sudah makan sama Mas Reza, dan kamu tahu nggak, Ta? Mbak diajak ke restoran mewah sama Mas Reza. Tapi yang bikin pangling bukan itu. Waktu Mbak kesana, disana lagi ramai banget penuh sesak, mana tadi Mbak udah capek banget, jalanan macet setengah mati, meeting hampir dicancel, ada kecelakaan segala di tengah jalan, pohon tumbang lah… benar-benar deh.Hidup di Jakarta itu serasa tiada hari tanpa kepenatan. Dan yang bikin surprise, begitu Manager restoran itu ngeliat Mas Reza, dia langsung mengantarkan kita ke ruang VVIP. Padahal kalau belum reservasi 1-2 minggu sebelumnya nggak akan bisa dapet VVIP room loh.”

Aku hanya menghela nafas panjang saja. Hujan masih belum berhenti sejak aku pulang tadi. Memang sudah masuk musim penghujan. Sedikit hujan saja, di mana-mana pasti macet. Dan seperti yang kakakku bilang tadi. Para direktur, manager, pengusaha dan beragam orang dengan berbagai tujuan beradu di jalan, berlomba-lomba ingin cepat sampai tempat tujuan, keluar dari kesesakan di tengah jalan raya yang bising. Takut meetingnya sampai batal, atau kehilangan klien, proyek ratusan juta rupiah, mungkin adalah sebagian hal yang ada di pikiran orang-orang yang tengah berlomba-lomba di tengah kemacetan dan derasnya hujan yang menderu-deru tanpa ampun.

Kakakku masih melanjutkan cerita mengenai acara bersama kekasihnya tersayang di ruangan VVIP yang ada di lantai lima belas itu,“Ruang VVIP itu nyaman sekali. Atapnya transparan, serasa makan di dalam sebuah kubah kaca. Apalagi tadi hujan kan ? Pemandangan di luar jadi terasa begitu menakjubkan!”

Ah, benarkah begitu? Apakah ketinggian dapat mengubah sudut pandang? Yang tadinya tidak indah, jadi tampak begitu elok? Atau yang tadinya buruk, menjadi semakin cantik? Kalau iya, mungkin ini bisa menjadi sebuah alasan yang masuk akal untukku, mengapa setiap orang berlomba-lomba ingin mencapai ke puncak yang tertinggi. Ingin meraih tempat yang nyaman, seperti di ruang VVIP itu. Kepenatan, ketegangan, tangis, dan gelisah yang ada di antara kemacetan, hujan, dan bising seakan lenyap begitu saja. Terlupakan. Seperti tak pernah ada lagi di dalam memori ingatan.

Petir menyambar, menyadarkanku dari lamunanku, lalu aku melihat ke arah jam dinding, hampir pukul lima sore, waktunya pergi ke rumah Nina.
***
Dari balik kaca mobil, aku menatap ke arah pinggiran jalan di lampu merah. Hujan memang baru reda sedikit, tapi langit masih gelap dan tak menunjukkan tanda yang bersahabat. Tapi begitu banyak anak kecil yang berlarian, sambil membawa kantong lusuh dari bungkus makanan dan kecrekan kecil sambil bernyanyi mendatangi setiap mobil yang berhenti di sana. Anak-anak seusia mereka seharusnya belajar di rumah sekarang, bukannya berkeliaran di jalan. Tapi aku tahu, mereka tidak punya pilihan lain.
***
“Ini anak satu sih lama banget ! Hampir aja ditinggal !”ujar Nina geram.

“Sori, jalanan macet. Hahahahhaha langsung observasi nih ? ”

“Iya, takut kemaleman ntar. Soalnya udah nggak ada waktu lagi. Yang laen udah berangkat duluan. Yuk cepetan.”

Aku dan Nina meluncur ke salah satu museum yang ada di Jakarta. Museum benda peninggalan sejarah. Observasi untuk tugas akhir sejarah. Selagi aku sibuk mengamat-amati beberapa contoh kapak, tiba-tiba pandanganku tertuju pada sebuah rombongan anak sekolah yang sedang mengadakan studi tur ke museum. Aku mendekati salah seorang anak perempuan yang rambutnya dikuncir dua dan bertanya,”Dik, sedang melihat apa?”

“Patung, Kak,”jawabnya polos.

Aku tersenyum geli mendengar jawaban anak kecil itu, lalu tiba-tiba seorang wanita setengah baya mendekatiku sambil berkata,”Sedang observasi, Nak?”

“Eh iya, untuk tugas akhir sekolah,”jawabku agak kaget.

Beliau mengangguk-angguk ramah. Sepertinya beliau salah satu guru pendamping dari rombongan tadi.

“Ibu sendiri?”tanyaku lagi.

“Ah, saya hanya menemani anak-anak ini. Mereka sedang melakukan tamasya ke Jakarta.”

“Tamasya?”

“Iya. Untuk kunjungan seperti ini, anak-anak itu menabung dua tahun lamanya. Mereka ingin sekali melihat Jakarta itu seperti apa,”ujarnya lagi pelan.

“Dua tahun?”kataku setengah tak percaya.

“Ya. Bagi anak-anak seperti mereka, mengumpulkan uang untuk bisa pergi tamasya ke luar kota itu sangatlah sulit. Orang tua mereka hanyalah petani, buruh yang penghasilannya tidak seberapa. Kami para guru membantu mereka menghimpun dana dan menabungnya setiap hari.”

Aku tertegun tidak percaya. Padahal mungkin ongkos untuk tamasya ke luar kota seperti ini tak terlalu mahal. Bahkan mungkin tak semahal harga sepiring makan siang kakakku bersama kekasihnya di ruang VVIP. Tapi untuk itu, mereka menabung sampai dua tahun, dua tahun lamanya. Kami mengakhiri percakapan setelah Nina datang dan kemudian menyeretku ke tempat yang lain sudah berkumpul.

“Kamu ini observasi tentang tamasya anak SD atau benda purba sih?”omel Nina.

Aku tak membalas. Jakarta.... ya daya tarik apa yang tersembunyi di baliknya ?

***

“Lapar nih! Makan yuk,”ujar Sita, salah seorang temanku.

“Iya.. Mau makan dimana nih?”sambung Tito lagi.

“Warung tenda depan sana saja deh! Banyak pilihan. Mau makan apa jadinya gampang,gimana?”usul Nina cepat.

Semua pun langsung mengiyakan. Kami pun berjalan menyusuri deretan warung tenda sambil sibuk melihat-lihat hendak mampir di mana. Aroma ayam yang sedang dibakar terasa begitu menggoda, begitu juga dengan harum soto, dan berbagai jenis makanan lainnya. Tengah asyik melihat-lihat, tiba-tiba seseorang menubrukku dari belakang.

“Aaaaaaaww!!”teriakku spontan.

“Ta, lo nggak apa-apa?”

Belum sempat aku bangun dan menjawab, tiba-tiba di belakang banyak orang berbondong-bondong lari ke arah kami sambil berteriak,“Copet ! Ada copet!!!” Berarti, orang yang menubrukku tadi mungkin pencopetnya.

“Ayo Ta sini gw bantu,”ujar Sita sambil mengulurkan tangannya.

“Ta !! Tangan dan lutut lo berdarahhh !!” jerit Nina ngeri.Sahabatku yang satu ini memang paling anti melihat darah.

“Aduh, mending cepet diobatin deh, takutnya infeksi,”sambung Tito lagi.

Akhirnya kami memutuskan untuk pulang. Sambil terpincang-pincang, kami kembali ke mobil. Dan sekilas, aku melihat sesuatu. Ya. Kerumunan orang yang tadi mengejar-ngejar. Sepertinya pencopet itu tertangkap, tapi…

***

Dari balik kaca mobil, aku memandang jauh ke luar. Ya, hujan turun lagi. Tapi masih kulihat jelas pemandangan yang tampak tidak asing. Sekumpulan perempuan berpakaian minim yang berdandan menor, tertawa riang sambil memeluk pria hidung belang, ada yang sambil merokok, seakan tidak peduli hujan deras akan menerpa. Tampak pula beberapa orang yang sibuk berteduh di bawah jembatan. Menanti penuh harap sambil menatap ke langit, berdoa semoga hujan cepat reda. Dan pikiranku kembali tertuju kepada pencopet tadi. Dari sela-sela kerumunan, aku melihat betapa tak berdayanya ia, mungkin juga sekarang terbaring sekarat bermandikan darah dan keringat. Batinku berteriak, bagaimanapun juga dia masih manusia. Mungkin saja dia sama seperti perempuan-perempuan yang kulihat tadi, atau orang-orang yang menanti hujan dengan gelisah. Orang-orang yang terjebak, tapi harus terus melanjutkan hidupnya, mencari nafkah demi sesuap nasi, untuk terus bertahan hidup.

“Lukanya masih sakit Ta?”tanya Tito.

“Sedikit,”jawabku sambil tersenyum. Dan aku kembali melemparkan pandanganku ke luar. Hujan semakin deras, mengaburkan pandanganku. Jakarta…ya, Jakarta. Di balik kemegahan gedung-gedung tinggi, di balik gemerlap nyala lampu, ada sosok yang tak terungkap. Wajah asli Jakarta.

You Might Also Like

0 comments

Popular Posts

Like us on Facebook

Flickr Images

Featured Posts

Subscribe